Selasa, 22 November 2016

METODE IQRA

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
PembelajaranAl-Qur’an,khususnyakemampuanmembaca Al-Qur’an sebaiknya diajarkankepada anak sejakusia dini. Karena anak usiadini merupakananak yang sedangberadadalam prosesperkembangan, baikperkembangan nilai-nilai agama, moral,fisik, kognitif, bahasa, maupun sosial dan emosional.Untuk itu pada masaanak-anak harusmulaidiperkenalkan padapendidikan Al-Qur'an dengan tahap dasar pengenalan huruf hijaiyah pada anak, karena Al-Qur’an yangmenjadi pegangandan pedoman didalamkehidupannyananti, sehingga ketika dewasa tidak kehilangan pegangan dan pedoman. Maka dari itulah untuk membaca Al-Qur’an, kita harus mengenalkan huruf-hurufhijaiyah pada anak sebagaidasar pembelajaran Al-Qur’an.
Dalammengajarkan membaca Al-Qur’anguru dapatmenggunakanmetode yangbermacam-macam. Salah satu metodemembaca Al-Qur’anadalah metodeIqra’. Dengan metode Iqra’ diharapkan lebih memudahkan guru dalam mengenalkanhuruf hijaiyah hingga tahap membaca Al-Qur’anpada anak.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menyusun makalah dengan judul “Metode Iqra’”.

B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, dirumuskan enam masalah pokok, yaitu:
1.    Apa pengertian metode Iqra’?
2.    Bagaimana sejarah metode Iqra’?
3.    Bagaimana biografi penulis metode Iqra’?
4.    Apa saja prinsip-prinsip mengajar Iqra’?
5.    Bagaimana teknis mengajarkan metode Iqra’?
6.    Apa kelebihan dan kekurangan metode Iqra’?



C.  Tujuan Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini penulis memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
1.    Untuk mengetahui pengertian metode Iqra’
2.    Untuk mengetahui sejarah metode Iqra’
3.    Untuk mengetahui biografi penulis metode Iqra’
4.    Untuk mengetahui prinsip-prinsip mengajar Iqra’
5.    Untuk mengetahui teknis mengajarkan metode Iqra’
6.    Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan metode Iqra’























BAB II
PEMBAHSAN

A.  Pengertian Metode Iqra’
Metode Iqra’ adalah suatu metode membaca Al-Qur’an yang menekankan langsung pada latihan membaca. Metode Iqr      a’ ini disusun oleh Ustadz As’ad Humam yang berdomisili di Yogyakarta. Adapun buku panduan Iqra’ terdiri dari 6 jilid dimulai dari tingkat yang sederhana, tahap demi tahap sampai pada tingkatan yang sempurna, di tambah satu jilid lagi yang berisi tentang doa-doa.
Berikut ini adalah isi materi dari masing-masing jilid, yaitu:
a.    Jilid 1
Pelajaran pada jilid 1 seluruhnya berisi pengenalan bunyi huruf tunggal berharokat fathah.
b.    Jilid 2
Pada jilid 2 diperkenalkan dengan bunyi huruf-huruf bersambung berharokat fathah. Baik huruf sambung di awal, di tengah maupun di akhir kata.
c.    Jilid 3
Pada jilid 3 barulah diperkenalkan bacaan kasroh, kasroh dengan hurufbersambung, kasroh panjang karena diikuti oleh huruf ya sukun, bacaan dhommah, dan dhommah panjang karena diikuti oleh wawu sukun.
d.   Jilid 4
Pada jilid 4 diawali dengan bacaan fathah tanwin, kasroh tanwin, dhommah tanwin, bunyi ya sukun dan wawu sukun, mim sukun, nun sukun, qolqolah dan huruf-huruf hijaiyah lainnya yang berharokat sukun.
e.    Jilid 5
Isi materi jilid 5 terdiri dari cara membaca alif-lam qomariah, waqof, mad far’i, nunsukun/tanwin menghadapi huruf-huruf idzghom bighunah, alif-lam syamsiyah, alif-lam jalalah, dan cara membaca nun sukun/tanwin menghadapi huruf-huruf idzghom bilaghunah.
f.     Jilid 6
Isi jilid ini sudah memuat idzghom bighunnah yang diikuti semua persoalan-persoalan tajwid. Pokok pelajaran jilid 6 ini ialah cara membaca nun sukun/tanwin bertemu huruf-huruf iqlab, cara membaca nun sukun/tanwin bertemu huruf-huruf ikhfa, cara membaca dan pengenalan waqof, cara membaca waqof pada beberapa huruf/kata yang musykilat dan cara membaca huruf-huruf dalam fawatihussuwar.
Metode Iqra’ ini dalam prakteknya tidak membutuhkan alat yang bermacam-macam, karenaditekankan pada bacaannya (membaca huruf Al-Qur'an dengan fasih), bacaan langsung tanpa dieja dan lebih bersifat individual.
Cara belajar membaca Al-Qur’an dengan motode Iqra’ ini pernah dijadikan proyek oleh Departemen Agama RI sebagai upaya untuk mengembangkan minat baca terhadap kitab suci Al-Qur’an. Meski demikian, harus diakui bahwa setiap metode memiliki kelebihan dan juga kelemahanya sendiri.

B.  Sejarah Metode Iqra
Pada awal masyarakat Indonesia terkena Islamisasi, ada yang menyebut pada abad 13 ada pula yang menyebut abad 7, pembelajaran membaca Al-Qur’an sebagian besar menggunakan metode Qowaidul Baghdadiyah. Cara membacanya teramat rumit, untuk menghasilkan bunyi a, seorang harus memulai dari huruf alif yang bersandang atau harokat fathah, baru dibaca a. Pun demikian jika harokat itu kasroh, maka harus memulai dengan alif kasroh, barulah berbunyi i. Atau contoh yang biasanya terdengar di surau-surau masa lalu seperti ini: “alif fathah a, alif kasroh i, alif dhomah u, a-i-u”. Sehingga untuk mampu membaca huruf hijaiyah atau huruf Arab secara keseluruhan, dengan cara seperti itu butuh waktu yang cukup lama. Belum lagi menggandengkan antar huruf, hingga merangkainya dalam ayat Al-Qur’an.
Kesulitan tersebut berhasil dipecahkan oleh K.H. As'ad Humam. Nama ini tentu populer dikalangan umat Islam diseluruh Indonesia. Hal itu karena jutaan eksemplar buku Iqra’ karya K.H. As'ad Humam dipakai oleh sebagian besar umat Islam untuk belajar membaca Al Quran.Saat itu K.H. As'ad Humam paling tidak merumuskan 3 faktor mengapa ia perlu menemukan metode baru dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an:
a.    Salah satu masalah umat Islam yang dihadapi dan cukup mendasar adalah prosentase generasi muda Islam yang tak mampu membaca Al-Qur’an menunjukan indikasi yang meningkat. Generasi muda nampak semakin menjauhi Al-Qur’an dan rumah tangga keluarga muslim terasa semakin sepi dari alunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Padahal kemampuan dan kecintaan membaca Al-Qur’an adalah merupakan modal dasar bagi upaya pemahaman dan pengamalan Al-Qur’an itu sendiri.
b.    Nampak sekali bahwa lembaga-lembaga pengajian dan pengajaran Al-Qur’an yang ada sekarang ini, belum mampu mengatasi masalah meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak mampu membaca Al-Qur’an. Pengajian anak-anak tradisional, yang dulunya berlangsung dengan semarak di kampung-kampungtiap ba'da Mahgrib sampai Isya, kini terlihat semakin kurang kuantitas dan kualitasnya. Hal ini disamping disebabkan oleh guru ngaji yang semakin langka, dana yang terbatas, sistem penyelenggaraan yang apa adanya, juga disebabkan oleh kalah bersaingnya dengan pengaruh-pengaruh dari luar seperti TV, film, video, radio, dan sebagainya. Sedangkan pengajaran membaca Al-Qur’an lewat pendidikan agama di sekolah-sekolah formal sangat terbatas waktu dan tenaga pengajarnya, sehingga sulit untuk bisa mengantarkan anak didiknya mampu membaca Al-Qur’an.
c.    Terasa sekali bahwa metodologi pengajaran membaca Al-Qur’an yang selama ini diterapkan di Indonesia, khususnya metode Juz Amma (Qowaidul Baghdadiyah), sudah saatnya untuk ditinjau kembali dan disempurnakan.
Tahun 1975, K.H. As'ad Humam menggunakan metode Qiroati yang disusun K.H. Dachlan Salim Zarkasyi dari Semarang. K.H. Dachlan Zarkasyi sendiri membukukan Qiroati sejak tahun 1963. Pada saat itu K.H. Dachlan Zarkasyi melihat pengajaran Al-Qur’an yang tidak tartil, terutama tidak adanya ilmu tajwid. Hubungan silaturahmi antara K.H. Dachlan Zarkasyi dengan K.H. As'ad Humam pada awalnya berlangsung dengan akrab. Muhammad Jazir mengisahkan bahwa pada tahun 1973 K.H. As'ad Humam bertemu dengan K.H. Dachlan Salim Zarkasyi, yang merupakan rekan bisnis K.H. Humam (Bapak dari K.H. As'ad Humam) dahulu. K.H. As'ad Humam gemar pijat, dan kebetulan K.H. Dachlan juga membuka praktik pijat sehingga berawal dari silaturahim ini kemudian K.H. As'ad Humam mengenal metode Qiroati.
Dari Qiroati ini pula kemudian muncul gagasan-gagasan K.H. As'ad Humam untuk mengembangkannya supaya lebih mempermudah penerimaan metode ini bagi santri yang belajar Al-Qur’an. Mulailah K.H. As'ad Humam bereksperimen, dan hasilnya kemudian ia catat dan ia usulkan kepada K.H. Dachlan Zarkasyi.Namun gagasan-gagasan tersebut seringkali ditolak oleh K.H. Dachlan Salim Zarkasyi, terutama untuk dimasukkan dalam Qiroati, karena menurutnya Qiroati adalah inayah dari Allah sehingga tidak perlu ada perubahan. Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan kedua tokoh “berkonflik”. Sehingga pada akhirnya muncullah gagasan K.H. As'ad Humam dan Team Tadarus AMM untuk menyusun sendiri dengan pengembangan penggunaan cara cepat belajar membaca Al-Qur'an melalui metode Iqra’.
Pengembangan penggunaan cara cepat belajar membaca Al-Qur'an dengan metode Iqra’ yang disusun oleh K.H. As'ad Humam ini pada awalnya hanya perantaraan dari mulut ke mulut atau getok tular, kemudian dengan ketekunan mampu dikembangkan secara luas dan diterima baik oleh masyarakat di Indonesia bahkan di dunia internasional, dengan dibantu aktivis yang tergabung dalam Team Tadrus AMM Yogyakarta.Selain itu juga pengembangan jaringan dan kerjasama dengan berbagai pihak menjadikan sistem TKA-TPA mampu berkembang, bahkan digunakan oleh lembaga-lembaga lain dalam mensukseskan program mereka. Juga yang tak kalah pentingnya adalah senantiasa melakukan inovasi dalam mengembangkan dan menyebar luaskan sistem TKA- TPA dengan metode Iqra’.
Berkat diketemukannya metode Iqra’ ini, kemudian dibarengi dengan munculnya gerakan TK Al-Qur’an, akhirnya seluruh tanah air Indonesia telah mengalami gairah baru dalam mempelajari membaca Al-Qur’an. Demikian pula lembaga baru lainnya yang muncul mengiringinya seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), TKAL, TPAL, TQA, Majelis Pengajian Al-Qur’an, BKB Iqra’, Kursus Tartil, dan lain sebagainya dengan aneka nama, namun memakai metode Iqra’.Kesemuanya itu ternyata mampu menggairahkan kembali umat Islam untuk mempelajari Al-Qur’an. Bahkan dari data yang ada pada Balai Penelitan dan Pengembangan (Balitbang) Lembaga Pengajaran Tartil Qur’an (LPTQ) Nasional di Yogyakarta, tercatat pada tahun 1995 diseluruh Indonesia kurang lebih telah tumbuh unit-unit TKA-TPA sebanyak 30.000 unit dengan santri mencapai 6 juta anak (Balitbang LPTQ Nasional: 1995). Tak hanya di dalam negeri, buku Iqra’ ini juga sudah dipakai di luar negeri seperti negeri Jiran Malaysia, Singapura, Bruney Darussalam, Arab Saudi, bahkan Amerika.
Sebenarnya selain metode Iqra’ dan penyusunnya, masih banyak metode yang lain dari cara belajar membaca Al-Qur’an seperti metode Qiroati, Hattaiyyah, metode Kamali, serta metode Al Barqy. Hanya saja yang paling berpengaruh terhadap masyarakat serta paling banyak digunakan adalah metode Iqra’. Berkat disusunnya metode Iqra’ ini, kemudian dibarengi dengan munculnya gerakan TK Al-Qur’an, akhirnya seluruh tanah air Indonesia telah mengalami gairah baru dalam mempelajari membaca Al-Qur’an.

C.  Biografi Penulis Iqra’
K.H. As’ad Humam lahir pada tahun 1933.Nama asli dari K.H. As'ad Humam hanyalah As'ad saja, sedangkan nama Humam yang diletakkan dibelakang adalah nama ayahnya, H. Humam Siradj. K.H. As'ad Humam tinggal di Kampung Selokraman, Kotagede Yogyakarta. Ia adalah anak kedua dari 7 bersaudara. Darah wiraswasta diwariskan benar oleh orang tua mereka, terbukti tak ada satu pun dari mereka yang menjadi Pegawai Negeri Sipil. K.H. Asad Humam sendiri berprofesi sebagai pedagang imitasi di pasar Bringharjo, kawasan Malioboro Yogyakarta. Profesi ini mengantarnya berkenalan dengan K.H. Dachlan Salim Zarkasyi.
Meskipun sebagai orang Muhammadiyah, tidak membuat K.H. As'ad Humam menutup diri dari kalangan lain, serta membuka pergaulan seluas-luasnya dengan orang lain tanpa memandang organisasi, aliran keagamaan, maupun lembaga yang diikutinya. Ia berpendapat bahwa “Semakin ramai kita berseminar mengenai ukhuwah Islamiah, maka umat Islam akan semakin pecah”. Dalam berbagai forum-forum pertemuan, K.H. As'ad Humam yang dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan Muhammadiyah tak henti-hentinya mengingatkan bahwa organisasi itu, baik Muhammadiyah, Nadhatul Ulama (NU), Al Irsyasad, Persatuan Islam (Persis) dan lain sebagainya adalah sekadar wasilah(alat) untuk memperjuangkan Islam. Islamlah yang menjadi tujuan, bukan organisasi.Maka tak aneh ketika ia dengan suka rela menawarkan gagasan tentang metode Iqra’ yang dimilikinya kepada K.H. Dachlan Salim Zarkasyi untuk dilaksanakan, serta tidak memilih lembaga-lembaga Muhammadiyah sebagai organisasi mayoritas di lingkungannya, mengingat visinya bukanlah persaingan, namun bagaimana dengan seefektif mungkin memberikan sebuah metode yang dirasakan paling mudah untuk mengembangkan pembelajaran secara cepat kepada anak-anak khususnya.
As'ad Humam bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Kleco, Kotagede, Yogyakarta, dan tamat pada tahun 1948. Serta dididik sendiri oleh Ayahnya terutama dalam pelajaran membaca Al-Qur’an. As'ad Humam melanjutkan sekolah di Muallimin dan hanya bertahan 1 tahun, kemudian ketika beranjak remaja dia pindah ke Ngawi, Jawa Timur, mengikuti kakak iparnya, Kiai Su'aman Habib yang menjadi penghulu di kota ini. Disana ia masuk ke SLTP, hingga lulus. Setelah itu As'ad Humam pindah lagi ke Yogyakarta dan melanjutkan di Sekolah Guru bagian Agama (SGA), namun tidak sampai lulus dikarenakan terserang penyakit pengapuran tulang belakang, dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta selama satu setengah tahun. Penyakit inilah yang dikemudian hari membuat As'ad Humam tak mampu bergerak secara leluasa sepanjang hidupnya. Hal ini dikarenakan sekujur tubuhnya mengejang dan sulit untuk dibungkukkan. Dalam keseharian, sholatnya pun harus dilakukan dengan duduk lurus, tanpa bisa melakukan posisi ruku' ataupun sujud. Bahkan untuk menengok pun harus membalikkan seluruh tubuhnya.
Meski dalam pendidikan formal nasib As'ad Humam tidak begitu beruntung, namun tidak demikian dengan pendidikan nonformalnya. Hal ini dikarenakan sejak dini As'ad Humam telah dididik sendiri oleh ayahnya, H. Humam. Ketika masa remaja, As'ad Humam belajar Al-Qur’an besertatajwid dan dasar-dasar ilmu agama pada kakak iparnya, Kiai Su'aman Habib, suami dari kakak perempuan As'ad Humam, Hj. Wasilah. Kiai Su'aman Habib yang asli Magelang, dengan tujuan semula datang ke Kotagede dalam rangka nyantri di pesantren milik Kiai Amir kemudian menikah dengan Hj. Wasilah ketika usia As'ad Humam menjelang remaja (sekitar usia SD kelas 6). Sejak saat itu, As'ad Humam terus menerus berguru pada beliau, sehingga sewaktu kakak iparnya pindah ke Ngawi, maka beliau pun ikut. Bisa dikatakan selain sebagai kakak ipar, Kiai Su'aman Habib adalah guru As'ad Humam yang paling utama dalam bidang agama. Hal ini dikarenakan As'ad Humam mengikuti dan senantiasa berguru kepada Kiai Su'aman Habib bahkan hingga ahir hayat K.H. As'ad Humam.
Kiai Su’aman Habib adalah seorang ulama yang terpandang di Magelang. Ia termasuk andil dalam mendirikan Universitas Muhammadiyah Magelang, dan juga mengajar disana. Ilmu Kiai Su’aman Habib cukup luas, terutama dalam masalah tafsir, hadits, dan fiqih. Ia juga sangat menguasai kitab-kitab kuning dan sanggup memberikan kritik terhadap pendapat-pendapat madzab yang ada, termasuk pendapat dalam keputusan tarjih Muhammadiyah.
Selain dari kakak iparnya, ilmu-ilmu agama As'ad Humam diperolehnya melalui aktif mengaji di lembaga pendidikan seperti di Masjid Syuhada Yogyakarta, Masjid Besar Kauman, serta di beberapa pondok pesantren. Bahkan untuk mencapai jarak tempat pengajian yang cukup jauh yaitu sekitar 7 kilometer dari Kotagede hingga Gedongkiwo, ia naik sepeda Brofit (sejenis sepeda motor kecil 40 cc) berangkat dari rumah sebelum subuh, kemudian ikut mengaji Al-Qur’an yang diselenggarakan setelah subuh, menumpang mandi di masjid, dan melanjutkan perjalanan ke tempatnya bersekolah di SGA Muhammadiyah Gedongkiwo Yogyakarta.
Pada masa usia remaja, As'ad Humam aktif selama dua tahun menjadi santri kalong (santri yang tidak bermukim secara tetap) di Pondok Pesantren Al Munawir, Krapyak, Yogyakarta. Di pondok yang didirikan oleh KH Munawir ini, As'ad Humam banyak mendapatkan ilmu-ilmu agama terutama dalam pengajaran membaca Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan pondok ini memang dikenal sebagai pondok pesantren Al-Qur’an. Selain berguru, ilmu yang didapatkan oleh KH As'ad Humam juga didapatkan melalui otodidak. Hal ini dikarenakan KH As'ad Humam termasuk memiliki tingkat kegemaran membaca yang tinggi. Ketika 1,5 tahun berbaring di rumah sakit, berbagai buku agama (terutama karangan Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) senantiasa dibacanya. Buku-buku karangan HAMKA yang umumnya berisi nasihat dan ajaran tasawuf, sedikit banyak ikut andil dalam membentuk karakter semangat perjuangan, pantang menyerah, dan juga keikhlasan. Kemana saja ia pergi dalam tasnya tentu akan didapati kitab suci Al-Qur’an dan buku atau majalah. Majalah Al Muslimun, sebuah majalah terbitan pesantren Bangil yang berisi kajian masalah-masalah hukum, menjadi salah satu bacaannya sehari-hari. Sedangkan buku-buku menyangkut akhlak, tasawuf, dan hukum Islam menjadi favoritnya. Buku-bukunya inilah yang sangat mungkin sekali mempengaruhi pola pikir serta amal saleh beliau, sehingga dalam kesehariannya secara fungsional K.H. As'ad Humam telah mengaplikasikan secara konkret apa-apa yang telah dipelajarinya. Hal ini nyaris sepadan dengan apa yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dimana apa yang telah dipelajari sedikit pun lebih baik untuk segera diamalkan. Sama juga dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Aisyah RA “Rasulullah SAW bersabda: Perbuatan baik yang paling disukai Allah perbuatan yang terus menerus dikerjakan. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim (dalam Terjemahan Riyadhus Shalihin Imam Nawawi, terjemahan Sunarto, 1999: 176).
K.H. As'ad Humam wafat di Yogyakarta pada 2 Februari 1996 (bulan Ramadhan hari Jum’at) dalam usia 63 tahunsekitar Pukul 11:30. Jenazah K.H. As’ad Humam dishalatkan di mesjid Baiturahman Selokraman Kota Gede Yogya tempat ia mengabdi.

D.  Prinsip-Prinsip Iqra’
Buku Iqra’ ini disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.    ﺍﻟﺼَّﻮْﺗِﻴَّﺔُ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔُ
Bahwasannya ada beberapa thoriqoh dalam memulai mengajarkan membaca huruf-huruf Al-Qur’an, antara lain adalah metode abjad atau metode alif – ba – ta atau yang dikenal dengan istilah “at-thoriqoh al-harfiyah” dan metode menyuarakan atau yang dikenal dengan istilah “a t-thoriqoh as-shoutiyah”. Pembedaan keduanya adalah:
1)   At-thoriqoh al-harfiyah, dimulai dengan mengaenalkan nama-nama huruf, tanda-tanda baca kemudian diurai – ( dieja seperti alif–fathah–a, alif-kasroh-i, alif-dhommah-u, a-i-u, dan seterusnya).
2)   At-thoriqoh as-shoutiyah, tidak dimulai dengan mengenalkan nama-nama hurufnya, tetapi langsung dibaca atau langsung diajarkan namanya ini huruf “alif” melainkan diajarkan bunyi suaranya “a” bagi yang bertanda fathah, “i” bagi yang bertanda kasroh, “u” bagi yang bertanda dhommah. Demikian juga tanda baca(harokat) yang menyertainya, juga tidak diperkenalkan namanya.
Dalam hal ini buku Iqra’ mengikuti prinsip yang kedua yaitu langsung bunyinya. Yang penting anak bisa baca walaupun tidak mengenal nama hurufnya. Hal ini dapat kita lihat pada buku Iqra’ jilid 1 halaman 5, yang terdapat petunjuk: “bacaan langsung a– ba– dan seterusnya. Tidak perlu diurai atau dieja. Bacalah dengan suara pendek-pendek.”
Ditinjau dari segi psikologi belajar, nampaknya at-thoriqoh as-shoutiyah lebih mudah dilakukan anak-anak. Ini karena proses berpikirnya yang lebih sederhana, lebih singkat dan mengurangi verbalis. Berbeda dengan at-thoriqoh al-harfiyah yang mengharuskan anak harus hafal nama-nama huruf lebih dahulu mengejanya lengkap dengan tanda-tanda bacanya, cenderung verbalis dan akibatnya membutuhkan waktu yang lebih lama.
b.    ﺑِﺎﻟﺘَّﺪّﺭُّﺝِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔُ
Iqra’ menggunakan metode berangsur-angsur atau dikenal dengan istilah “at-thoriqoh bittadarruj”. Hal ini tercermin dalam tahapan-tahapan pokok dari jilid 1– 6, antara lain:
1)   Disusun dari yang kongkrit menuju yang abstrak. Misalnya, kepada anak tidak diajarkan nama huruf “alif” bertanda “fathah” berbunyi “a”, tapi cukup dikenalkan bila ada “tongkat” di atasnya ada “coretan” berbunyi “a”. Alif buat anak adalah abstrak sedang tongkat buat anak adalah kongkrit karena terdapat di lingkungan sekitarnya.
2)   Dimulai dari yang mudah menuju yang sulit. Mislanya, bacaan-bacaan tanwin dan nun sukun, yang paling mudah adalah bacaan idzhar, kemudian yang dibaca idghom, iqlab dan terakhir yang paling sulit adalah yang dibaca ikhfa’. Untuk itu dalam buku Iqra’, bacaan idzharlah yang didahulukan (Iqra’ jilid 4) dan bacaan ikhfa’ yang paling dikemudiankan (Iqra’ jilid 6). Hal ini sangat memudahkan bagi anak.
3)   Dimulai dari yang sederhana menuju yang komplek.Misalnya, pada jilid 1 masih berupa huruf-huruf tunggal berharokat fathah, jilid 2 huruf-huruf sambung yang agak pendek-pendek, kemudian di jilid 3 dan 4 sudah mulai agak panjang-panjang, dan akhirnya pada jilid 5 dan 6 memuat bahasan-bahasan yang semakin komplek dan panjang-panjang.
Karena prinsipnya yang berangsur-angsur seperti tersebut di ataslah maka seorang anak seusia TK sekalipun akan bisa mempelajari buku Iqra’ ini dengan pelan-pelan, bertahap dan tanpa ada perasaan “tertekan”.
c.    ﺍْﻷَﻃْﻔَﺎﻝِ ﺑِﺮِﻳَﺎﺿَﺔِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔُ
Prinsip CBSA (Cara Belajar Santri Aktif) atau prinsip “Bi-riyadlotil athfal” adalah suatu prinsip pengajaran yang ditandai oleh diutamakannya “belajar” daripada “mengajar”, atau dengan perkataan lain CBSA adalah suatu sitem belajar-mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, afektif dan psikomotorik.
Prinsip CBSA ini sangat sesuai dengan prinsip-pronsip pengajaran modern, dan didukung pula oleh Imam Ghozali dalam makalahnya.
“Metode dengan mengaktifkan anak mengadakan latihan-latihan sendiri adalah termasuk perkara yang sangat penting”.
Dalam buku Iqra’ prinsip ini benar-benar sangat dipentingkan. Dalam mengajarkan buku Iqra’ seorang ustadz hanya diperbolehkan menerangkan dan memberi contoh bacaan-bacaan yang tercantum dalam “Pokok Bahasan”, sedangkan bacaan pada “lembar kerja” yang digunakan sebagai latihan anak, ustadz tidak boleh ikut membaca atau menuntunnya. Anaklah yang dituntut untuk aktif membacanya, dan ustadz hanya bertugas menyimaknya sambil memberikan motivasi, koreksi dan komentar-komentar seperlunya saja.
Dengan prinsip CBSA ini, dimaksudkan agar anak betul-betul mengerti dan bisa mengucapkan secara benar huruf-huruf yang dipelajarinya itu, serta terhindar dari verbalis (hafal tapi tidak mengerti).
d.   ﺍْﻷَﻻَﺕِﻻَﻓِﻰﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺻِﺪَﻓِﻰﺍﻟﺘَّﻮَﺳَّﻊُ
Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah bahwa pengajaran itu berorientasi kepada tujuan, bukan kepada alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian, yang dipentingkan adalah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan, bukan alat untuk mencapai tujuan itu.
Dalam kaitannya dengan pengajaran membaca Al-Qur’an, maka tujuan yang hendak dicapai “anak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid yang ada”. Mengenai kemampuan mengenal nama-nama huruf-huruf, kemampuan mengeja, mengetahui ilmu tajwidnya dan sebagainya adalah termasuk “alat” untuk tercapainya tujuan tersebut. Untuk itu, penguasaan anak terhadap “alat” cukup hanya sekedarnya saja, atau bahkan bisa mencari alat lain yang dipandang lebih efektif.
Buku Iqra’ nampaknya sangat konsisten dalam menerapkan prinsip ini. Dalam buku Iqra’ yang dipentingkan adalah kemampuan anak dalam membaca Al-Qur’an. Untuk itu:
1)   Buku Iqra’ tidak mengenalkan nama-nama huruf dan tanda bacanya sebelum anak bisa membacanya. Atau dengan perkataan lain yang penting anak bisa baca lebih dulu, baru tahu namanya.
2)   Buku Iqra’ tidak mengenalkan teori-teori atau ilmu tajwid sebelum anak bisa membacanya sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid, jadi yang dipentingkan adalah prakteknyabukan teorinya.
3)   Buku Iqra’ tidak menuntut anak bisa menuliskan huruf-huruf Al-Qur’an, sebelum ia bisa membacanya. Atau dengan perkataan lain yang penting anak bisa baca lebih dulu, baru menuliskannya.
Demikianlah yang dipentingkan oleh buku Iqra’ adalah anak bisa membaca Al-Qur’an. Segala sesuatu yang bisa menghambat kecepatan anak dalam bisa membaca Al-Qur’an, semaksimal mungkin ditiadakan. Inilah barangakali yang menyebabkan dengan Iqra’ anak cepat bisa membaca Al-Qur’an.

E.  Teknis Mengajarkan  Iqra’
Setiap metode pembelajaran yang digunakan tentu memiliki metode tersendiri, namun secara umum metode pelaksanaan pembelajran untuk membuka pembelajran itu sama, seperti pemasangan niat, berdoa, berwudhu dan lain-lain, namun dalam kegiatan intinya yang memilki teknik-teknik atau langkah-langkah masing-masing yang berbeda setiap metode pembelajaran.
Adapun proses pelaksanaan pembelajaran metode ini berlangusng melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1)   Ath Thoriqah bil Muhaakah, yaitu ustadz/ustadzah memberikan contoh bacaan yang benar dan santri menirukannya.
2)   Ath Thoriqah bil Musyaafahah , yaitu santri melihat gerak-gerik bibir ustadz/uztadzah dan demikian pula sebaliknya ustadz/ustadzah melihat gerak gerik mulut santri untuk mengajarkan makhorijul huruf serta menhindari kesalahan dalam pelafalan huruf, atau untuk melihat apakah santri sudah tepat dalam melafalkannya atau belum.
3)   Ath Thoriqoh Bil Kalaamish Shoriih, yaitu ustadz/ustadzah harusmenggunakan ucapan yang jelas dan komunikatif.

F.   Kelebihan dan Kekurangan Iqra’
Kelebihan metode Iqra’ diantaranya:
1)   Adanya buku (modul) yang mudah dibawa dan dilengkapi oleh beberapa petunjuk teknis pembelajaran bagi guru serta pendidikan dan latihan guru agar buku Iqra’ ini dapat dipahami dengan baik oleh guru, para guru dapat menerapkan metodenya dengan baik dan benar.
2)   Cara Belajar siswa aktif (CBSA). Menuntut siswa yang aktif bukan guru. Siswa diberikan contoh huruf yang telah diberi harakat sebagai pengenalan di lembar awal dan setiap memulai belajar siswa dituntut untuk mengenal hurufhijaiyah tersebut. Pada permulaan, siswa langsung membaca huruf-huruf tersebut secara terpisah-pisah untuk kemudian dilanjutkan ke kata dan kalimat secara gradual. Jika terjadi kesalahan baca, guru memberikan kode agar kesalahan tersebut dibenarkan sendiri dengan cara mengulang bacaan.
3)   Bersifat privat (individual). Setiap siswa menghadap guru untukmendapatkan bimbingan langsung secara individual. Jika pembelajaran terpaksa dilakukan secara kolektif maka guru akan menggunakan buku Iqra’ klasikal. Dapat diterapkan secara klasikal (membaca secara bersama) privat, maupun kelompok dengan cara tutor sebaya (siswa yang lebih tinggi jilidnya dapat menyimak bacaan temannya yang jilidnya masih rendah).
4)   Menggunakan sistem asistensi, yaitu santri yang lebih tinggi tingkat pembelajaranya membina siswa yang berada di bawahnya. Meski demikian proses kelulusan tetap ditentukan oleh guru dengan melalui ujian.
5)   Guru mengajar dengan pendekatan yang komunikatif, seperti dengan menggunakan bahasa peneguhan saat siswa membaca benar, sehingga siswa termotivasi, dan dengan teguran yang menyenangkan jika terjadi kesalahan.
6)   Penggunaan sistem pembelajaran yang variatif dengan cerita dan nyanyian religius sehingga siswa tidak merasa jenuh.
7)   Menggunakan bahasa secara langsung sehingga lebih mudah diingat. Selain itu siswa tidak diperkenalkan huruf hijaiyah terlebih dahulu dengan asumsi menyita banyak waktu, dan menyulitkan siswa. Oleh karena itu metode Iqra’ bersifat praktis sehingga mudah dilakukan.
8)   Sistematis dan mudah diikuti, pembelajaran dilakukan dari yang mudah ke yang sulit, dari yang sering didengar, yang mudah diingat ke yang sulit didengar dan diingat.
9)   Buku dengan metode ini bersifat fleksibel untuk segala umur dan bukunya mudah di dapat di toko-toko.
Kekurangan metode Iqra’ diantaranya:
1)   Bacaan-bacaan tajwid tidak dikenalkan sejak dini.
2)   Tidak dianjurkan menggunakan irama murottal.
3)   Anak kurang tahu nama huruf hijaiyah karena tidak diperkenalkan dari awal pembelajaran.
4)   Tidak ada media belajar












BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di muka, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Metode Iqra’ adalah suatu metode membaca Al-Qur’an yang menekankan langsung pada latihan membaca.
2.    Pengembangan penggunaan cara cepat belajar membaca Al-Qur'an dengan metode Iqra’ yang disusun oleh KH As'ad Humam ini pada awalnya hanya perantaraan dari mulut ke mulut atau getok tular, kemudian dengan ketekunan mampu dikembangkan secara luas dan diterima baik oleh masyarakat di Indonesia bahkan di dunia internasional, dengan dibantu aktivis yang tergabung dalam Team Tadrus AMM Yogyakarta.
3.    Penulis metode Iqra’ adalah K.H. As’ad Humam, lahir pada tahun 1933.Nama asli dari K.H. As'ad Humam hanyalah As'ad saja, sedangkan nama Humam yang diletakkan dibelakang adalah nama ayahnya, H. Humam Siradj.
4.    Prinsip yang paling dalam buku Iqra’ adalah anak bisa membaca Al-Qur’an.
5.    Setiap metode pembelajaran yang digunakan tentu memiliki metode tersendiri, namun secara umum metode pelaksanaan pembelajran untuk membuka pembelajran itu sama, seperti pemasangan niat, berdoa, berwudhu dan lain-lain, namun dalam kegiatan intinya yang memilki teknik-teknik atau langkah-langkah masing-masing yang berbeda setiap metode pembelajaran.
6.    Kelebihan metode Iqra’ diantaranya: Adanya buku (modul), CBSA, bersifat privat (individual), menggunakan sistem asistensi, komunikatif, variatif, sistematis, dan fleksibel. Sedangkan kekurangan dari metode Iqra’ diantaranya: bacaan-bacaan tajwid tidak dikenalkan sejak dini, tidak dianjurkan menggunakan irama murottal, anak kurang tahu nama huruf hijaiyah karena tidak diperkenalkan dari awal pembelajaran, dan tidak ada media belajar.





DAFTAR PUSTAKA

http://matericaberawit.blogspot.com/2010/08/prinsip-prinsip-metodologi-iqro_05.html?m=1


Tidak ada komentar:

Posting Komentar