BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
PembelajaranAl-Qur’an,khususnyakemampuanmembaca
Al-Qur’an sebaiknya diajarkankepada anak sejakusia dini. Karena anak usiadini
merupakananak yang sedangberadadalam prosesperkembangan, baikperkembangan
nilai-nilai agama, moral,fisik, kognitif, bahasa, maupun sosial dan emosional.Untuk
itu pada masaanak-anak harusmulaidiperkenalkan padapendidikan Al-Qur'an dengan
tahap dasar pengenalan huruf hijaiyah pada anak, karena Al-Qur’an yangmenjadi
pegangandan pedoman didalamkehidupannyananti, sehingga ketika dewasa tidak
kehilangan pegangan dan pedoman. Maka dari itulah untuk membaca Al-Qur’an, kita
harus mengenalkan huruf-hurufhijaiyah pada anak sebagaidasar pembelajaran
Al-Qur’an.
Dalammengajarkan membaca
Al-Qur’anguru dapatmenggunakanmetode yangbermacam-macam. Salah satu
metodemembaca Al-Qur’anadalah metodeIqra’. Dengan metode Iqra’ diharapkan lebih
memudahkan guru dalam mengenalkanhuruf hijaiyah hingga tahap membaca Al-Qur’anpada
anak.
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka penulis menyusun makalah dengan judul “Metode Iqra’”.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini, dirumuskan enam masalah pokok,
yaitu:
1.
Apa pengertian
metode Iqra’?
2.
Bagaimana
sejarah metode Iqra’?
3.
Bagaimana
biografi penulis metode Iqra’?
4.
Apa saja
prinsip-prinsip mengajar Iqra’?
5.
Bagaimana
teknis mengajarkan metode Iqra’?
6.
Apa kelebihan
dan kekurangan metode Iqra’?
C. Tujuan
Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini penulis memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
1.
Untuk
mengetahui pengertian metode Iqra’
2.
Untuk
mengetahui sejarah metode Iqra’
3.
Untuk
mengetahui biografi penulis metode Iqra’
4.
Untuk
mengetahui prinsip-prinsip mengajar Iqra’
5.
Untuk
mengetahui teknis mengajarkan metode Iqra’
6.
Untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangan metode Iqra’
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian
Metode Iqra’
Metode Iqra’ adalah suatu
metode membaca Al-Qur’an yang menekankan langsung pada latihan membaca. Metode
Iqr a’ ini disusun oleh Ustadz As’ad
Humam yang berdomisili di Yogyakarta. Adapun buku panduan Iqra’ terdiri dari 6
jilid dimulai dari tingkat yang sederhana, tahap demi tahap sampai pada
tingkatan yang sempurna, di tambah satu jilid lagi yang berisi tentang doa-doa.
Berikut
ini adalah isi materi dari masing-masing jilid, yaitu:
a.
Jilid 1
Pelajaran pada jilid 1 seluruhnya berisi pengenalan
bunyi huruf tunggal berharokat fathah.
b.
Jilid 2
Pada jilid 2 diperkenalkan dengan bunyi huruf-huruf
bersambung berharokat fathah. Baik huruf sambung di awal, di tengah maupun di
akhir kata.
c.
Jilid 3
Pada jilid 3 barulah diperkenalkan bacaan kasroh,
kasroh dengan hurufbersambung, kasroh panjang karena diikuti oleh huruf ya
sukun, bacaan dhommah, dan dhommah panjang karena diikuti oleh wawu sukun.
d.
Jilid 4
Pada jilid 4 diawali dengan bacaan fathah tanwin,
kasroh tanwin, dhommah tanwin, bunyi ya sukun dan wawu sukun, mim sukun, nun
sukun, qolqolah dan huruf-huruf hijaiyah lainnya yang berharokat sukun.
e.
Jilid 5
Isi materi jilid 5 terdiri dari cara membaca alif-lam
qomariah, waqof, mad far’i, nunsukun/tanwin menghadapi huruf-huruf idzghom
bighunah, alif-lam syamsiyah, alif-lam jalalah, dan cara membaca nun
sukun/tanwin menghadapi huruf-huruf idzghom bilaghunah.
f.
Jilid 6
Isi jilid ini sudah memuat idzghom bighunnah yang
diikuti semua persoalan-persoalan tajwid. Pokok pelajaran jilid 6 ini ialah
cara membaca nun sukun/tanwin bertemu huruf-huruf iqlab, cara membaca nun
sukun/tanwin bertemu huruf-huruf ikhfa, cara membaca dan pengenalan waqof, cara
membaca waqof pada beberapa huruf/kata yang musykilat dan cara membaca huruf-huruf
dalam fawatihussuwar.
Metode Iqra’ ini dalam
prakteknya tidak membutuhkan alat yang bermacam-macam, karenaditekankan pada
bacaannya (membaca huruf Al-Qur'an dengan fasih), bacaan langsung tanpa dieja
dan lebih bersifat individual.
Cara belajar membaca Al-Qur’an
dengan motode Iqra’ ini pernah dijadikan proyek oleh Departemen Agama RI
sebagai upaya untuk mengembangkan minat baca terhadap kitab suci Al-Qur’an.
Meski demikian, harus diakui bahwa setiap metode memiliki kelebihan dan juga
kelemahanya sendiri.
B. Sejarah
Metode Iqra
Pada awal masyarakat
Indonesia terkena Islamisasi, ada yang menyebut pada abad 13 ada pula yang
menyebut abad 7, pembelajaran membaca Al-Qur’an sebagian besar menggunakan
metode Qowaidul Baghdadiyah. Cara membacanya teramat rumit, untuk menghasilkan
bunyi a, seorang harus memulai dari huruf alif yang bersandang atau harokat
fathah, baru dibaca a. Pun demikian jika harokat itu kasroh, maka harus memulai
dengan alif kasroh, barulah berbunyi i. Atau contoh yang biasanya terdengar di
surau-surau masa lalu seperti ini: “alif fathah a, alif kasroh i, alif dhomah
u, a-i-u”. Sehingga untuk mampu membaca huruf hijaiyah atau huruf Arab secara
keseluruhan, dengan cara seperti itu butuh waktu yang cukup lama. Belum lagi
menggandengkan antar huruf, hingga merangkainya dalam ayat Al-Qur’an.
Kesulitan tersebut berhasil
dipecahkan oleh K.H. As'ad Humam. Nama ini tentu populer dikalangan umat Islam
diseluruh Indonesia. Hal itu karena jutaan eksemplar buku Iqra’ karya K.H.
As'ad Humam dipakai oleh sebagian besar umat Islam untuk belajar membaca Al
Quran.Saat itu K.H. As'ad Humam paling tidak merumuskan 3 faktor mengapa ia
perlu menemukan metode baru dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an:
a.
Salah satu masalah umat
Islam yang dihadapi dan cukup mendasar adalah prosentase generasi muda Islam
yang tak mampu membaca Al-Qur’an menunjukan indikasi yang meningkat. Generasi muda
nampak semakin menjauhi Al-Qur’an dan rumah tangga keluarga muslim terasa
semakin sepi dari alunan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Padahal kemampuan dan
kecintaan membaca Al-Qur’an adalah merupakan modal dasar bagi upaya pemahaman
dan pengamalan Al-Qur’an itu sendiri.
b.
Nampak sekali bahwa
lembaga-lembaga pengajian dan pengajaran Al-Qur’an yang ada sekarang ini, belum
mampu mengatasi masalah meningkatnya jumlah generasi muda yang tidak mampu
membaca Al-Qur’an. Pengajian anak-anak tradisional, yang dulunya berlangsung
dengan semarak di kampung-kampungtiap ba'da Mahgrib sampai Isya, kini terlihat
semakin kurang kuantitas dan kualitasnya. Hal ini disamping disebabkan oleh
guru ngaji yang semakin langka, dana yang terbatas, sistem penyelenggaraan yang
apa adanya, juga disebabkan oleh kalah bersaingnya dengan pengaruh-pengaruh
dari luar seperti TV, film, video, radio, dan sebagainya. Sedangkan pengajaran
membaca Al-Qur’an lewat pendidikan agama di sekolah-sekolah formal sangat
terbatas waktu dan tenaga pengajarnya, sehingga sulit untuk bisa mengantarkan
anak didiknya mampu membaca Al-Qur’an.
c.
Terasa sekali bahwa
metodologi pengajaran membaca Al-Qur’an yang selama ini diterapkan di
Indonesia, khususnya metode Juz Amma (Qowaidul Baghdadiyah), sudah saatnya
untuk ditinjau kembali dan disempurnakan.
Tahun 1975, K.H. As'ad Humam
menggunakan metode Qiroati yang disusun K.H. Dachlan Salim Zarkasyi dari
Semarang. K.H. Dachlan Zarkasyi sendiri membukukan Qiroati sejak tahun 1963.
Pada saat itu K.H. Dachlan Zarkasyi melihat pengajaran Al-Qur’an yang tidak
tartil, terutama tidak adanya ilmu tajwid. Hubungan silaturahmi antara K.H.
Dachlan Zarkasyi dengan K.H. As'ad Humam pada awalnya berlangsung dengan akrab.
Muhammad Jazir mengisahkan bahwa pada tahun 1973 K.H. As'ad Humam bertemu
dengan K.H. Dachlan Salim Zarkasyi, yang merupakan rekan bisnis K.H. Humam
(Bapak dari K.H. As'ad Humam) dahulu. K.H. As'ad Humam gemar pijat, dan
kebetulan K.H. Dachlan juga membuka praktik pijat sehingga berawal dari
silaturahim ini kemudian K.H. As'ad Humam mengenal metode Qiroati.
Dari Qiroati ini pula
kemudian muncul gagasan-gagasan K.H. As'ad Humam untuk mengembangkannya supaya
lebih mempermudah penerimaan metode ini bagi santri yang belajar Al-Qur’an.
Mulailah K.H. As'ad Humam bereksperimen, dan hasilnya kemudian ia catat dan ia
usulkan kepada K.H. Dachlan Zarkasyi.Namun gagasan-gagasan tersebut seringkali
ditolak oleh K.H. Dachlan Salim Zarkasyi, terutama untuk dimasukkan dalam
Qiroati, karena menurutnya Qiroati adalah inayah dari Allah sehingga tidak
perlu ada perubahan. Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan kedua tokoh “berkonflik”.
Sehingga pada akhirnya muncullah gagasan K.H. As'ad Humam dan Team Tadarus AMM
untuk menyusun sendiri dengan pengembangan penggunaan cara cepat belajar membaca
Al-Qur'an melalui metode Iqra’.
Pengembangan penggunaan cara
cepat belajar membaca Al-Qur'an dengan metode Iqra’ yang disusun oleh K.H.
As'ad Humam ini pada awalnya hanya perantaraan dari mulut ke mulut atau getok
tular, kemudian dengan ketekunan mampu dikembangkan secara luas dan diterima
baik oleh masyarakat di Indonesia bahkan di dunia internasional, dengan dibantu
aktivis yang tergabung dalam Team Tadrus AMM Yogyakarta.Selain itu juga
pengembangan jaringan dan kerjasama dengan berbagai pihak menjadikan sistem
TKA-TPA mampu berkembang, bahkan digunakan oleh lembaga-lembaga lain dalam
mensukseskan program mereka. Juga yang tak kalah pentingnya adalah senantiasa
melakukan inovasi dalam mengembangkan dan menyebar luaskan sistem TKA- TPA
dengan metode Iqra’.
Berkat diketemukannya metode
Iqra’ ini, kemudian dibarengi dengan munculnya gerakan TK Al-Qur’an, akhirnya
seluruh tanah air Indonesia telah mengalami gairah baru dalam mempelajari
membaca Al-Qur’an. Demikian pula lembaga baru lainnya yang muncul mengiringinya
seperti Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), TKAL, TPAL, TQA, Majelis Pengajian
Al-Qur’an, BKB Iqra’, Kursus Tartil, dan lain sebagainya dengan aneka nama,
namun memakai metode Iqra’.Kesemuanya itu ternyata mampu menggairahkan kembali umat
Islam untuk mempelajari Al-Qur’an. Bahkan dari data yang ada pada Balai
Penelitan dan Pengembangan (Balitbang) Lembaga Pengajaran Tartil Qur’an (LPTQ)
Nasional di Yogyakarta, tercatat pada tahun 1995 diseluruh Indonesia kurang
lebih telah tumbuh unit-unit TKA-TPA sebanyak 30.000 unit dengan santri
mencapai 6 juta anak (Balitbang LPTQ Nasional: 1995). Tak hanya di dalam negeri,
buku Iqra’ ini juga sudah dipakai di luar negeri seperti negeri Jiran Malaysia,
Singapura, Bruney Darussalam, Arab Saudi, bahkan Amerika.
Sebenarnya selain metode
Iqra’ dan penyusunnya, masih banyak metode yang lain dari cara belajar membaca Al-Qur’an
seperti metode Qiroati, Hattaiyyah, metode Kamali, serta metode Al Barqy. Hanya
saja yang paling berpengaruh terhadap masyarakat serta paling banyak digunakan
adalah metode Iqra’. Berkat disusunnya metode Iqra’ ini, kemudian dibarengi
dengan munculnya gerakan TK Al-Qur’an, akhirnya seluruh tanah air Indonesia
telah mengalami gairah baru dalam mempelajari membaca Al-Qur’an.
C. Biografi
Penulis Iqra’
K.H. As’ad Humam lahir pada
tahun 1933.Nama asli dari K.H. As'ad Humam hanyalah As'ad saja, sedangkan nama
Humam yang diletakkan dibelakang adalah nama ayahnya, H. Humam Siradj. K.H.
As'ad Humam tinggal di Kampung Selokraman, Kotagede Yogyakarta. Ia adalah anak
kedua dari 7 bersaudara. Darah wiraswasta diwariskan benar oleh orang tua
mereka, terbukti tak ada satu pun dari mereka yang menjadi Pegawai Negeri
Sipil. K.H. Asad Humam sendiri berprofesi sebagai pedagang imitasi di pasar
Bringharjo, kawasan Malioboro Yogyakarta. Profesi ini mengantarnya berkenalan
dengan K.H. Dachlan Salim Zarkasyi.
Meskipun sebagai orang
Muhammadiyah, tidak membuat K.H. As'ad Humam menutup diri dari kalangan lain,
serta membuka pergaulan seluas-luasnya dengan orang lain tanpa memandang
organisasi, aliran keagamaan, maupun lembaga yang diikutinya. Ia berpendapat
bahwa “Semakin ramai kita berseminar mengenai ukhuwah Islamiah, maka umat Islam
akan semakin pecah”. Dalam berbagai forum-forum pertemuan, K.H. As'ad Humam
yang dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan Muhammadiyah tak henti-hentinya
mengingatkan bahwa organisasi itu, baik Muhammadiyah, Nadhatul Ulama (NU), Al
Irsyasad, Persatuan Islam (Persis) dan lain sebagainya adalah sekadar
wasilah(alat) untuk memperjuangkan Islam. Islamlah yang menjadi tujuan, bukan
organisasi.Maka tak aneh ketika ia dengan suka rela menawarkan gagasan tentang
metode Iqra’ yang dimilikinya kepada K.H. Dachlan Salim Zarkasyi untuk
dilaksanakan, serta tidak memilih lembaga-lembaga Muhammadiyah sebagai
organisasi mayoritas di lingkungannya, mengingat visinya bukanlah persaingan,
namun bagaimana dengan seefektif mungkin memberikan sebuah metode yang
dirasakan paling mudah untuk mengembangkan pembelajaran secara cepat kepada anak-anak
khususnya.
As'ad Humam bersekolah di
Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Kleco, Kotagede, Yogyakarta, dan tamat pada
tahun 1948. Serta dididik sendiri oleh Ayahnya terutama dalam pelajaran membaca
Al-Qur’an. As'ad Humam melanjutkan sekolah di Muallimin dan hanya bertahan 1
tahun, kemudian ketika beranjak remaja dia pindah ke Ngawi, Jawa Timur,
mengikuti kakak iparnya, Kiai Su'aman Habib yang menjadi penghulu di kota ini.
Disana ia masuk ke SLTP, hingga lulus. Setelah itu As'ad Humam pindah lagi ke
Yogyakarta dan melanjutkan di Sekolah Guru bagian Agama (SGA), namun tidak
sampai lulus dikarenakan terserang penyakit pengapuran tulang belakang, dan
harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta selama satu
setengah tahun. Penyakit inilah yang dikemudian hari membuat As'ad Humam tak
mampu bergerak secara leluasa sepanjang hidupnya. Hal ini dikarenakan sekujur
tubuhnya mengejang dan sulit untuk dibungkukkan. Dalam keseharian, sholatnya
pun harus dilakukan dengan duduk lurus, tanpa bisa melakukan posisi ruku'
ataupun sujud. Bahkan untuk menengok pun harus membalikkan seluruh tubuhnya.
Meski dalam pendidikan
formal nasib As'ad Humam tidak begitu beruntung, namun tidak demikian dengan
pendidikan nonformalnya. Hal ini dikarenakan sejak dini As'ad Humam telah
dididik sendiri oleh ayahnya, H. Humam. Ketika masa remaja, As'ad Humam belajar
Al-Qur’an besertatajwid dan dasar-dasar ilmu agama pada kakak iparnya, Kiai
Su'aman Habib, suami dari kakak perempuan As'ad Humam, Hj. Wasilah. Kiai
Su'aman Habib yang asli Magelang, dengan tujuan semula datang ke Kotagede dalam
rangka nyantri di pesantren milik Kiai Amir kemudian menikah dengan Hj. Wasilah
ketika usia As'ad Humam menjelang remaja (sekitar usia SD kelas 6). Sejak saat
itu, As'ad Humam terus menerus berguru pada beliau, sehingga sewaktu kakak
iparnya pindah ke Ngawi, maka beliau pun ikut. Bisa dikatakan selain sebagai
kakak ipar, Kiai Su'aman Habib adalah guru As'ad Humam yang paling utama dalam
bidang agama. Hal ini dikarenakan As'ad Humam mengikuti dan senantiasa berguru
kepada Kiai Su'aman Habib bahkan hingga ahir hayat K.H. As'ad Humam.
Kiai Su’aman Habib adalah
seorang ulama yang terpandang di Magelang. Ia termasuk andil dalam mendirikan
Universitas Muhammadiyah Magelang, dan juga mengajar disana. Ilmu Kiai Su’aman
Habib cukup luas, terutama dalam masalah tafsir, hadits, dan fiqih. Ia juga
sangat menguasai kitab-kitab kuning dan sanggup memberikan kritik terhadap
pendapat-pendapat madzab yang ada, termasuk pendapat dalam keputusan tarjih
Muhammadiyah.
Selain dari kakak iparnya,
ilmu-ilmu agama As'ad Humam diperolehnya melalui aktif mengaji di lembaga
pendidikan seperti di Masjid Syuhada Yogyakarta, Masjid Besar Kauman, serta di
beberapa pondok pesantren. Bahkan untuk mencapai jarak tempat pengajian yang cukup
jauh yaitu sekitar 7 kilometer dari Kotagede hingga Gedongkiwo, ia naik sepeda
Brofit (sejenis sepeda motor kecil 40 cc) berangkat dari rumah sebelum subuh,
kemudian ikut mengaji Al-Qur’an yang diselenggarakan setelah subuh, menumpang
mandi di masjid, dan melanjutkan perjalanan ke tempatnya bersekolah di SGA
Muhammadiyah Gedongkiwo Yogyakarta.
Pada masa usia remaja, As'ad
Humam aktif selama dua tahun menjadi santri kalong (santri yang tidak bermukim
secara tetap) di Pondok Pesantren Al Munawir, Krapyak, Yogyakarta. Di pondok
yang didirikan oleh KH Munawir ini, As'ad Humam banyak mendapatkan ilmu-ilmu
agama terutama dalam pengajaran membaca Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan pondok
ini memang dikenal sebagai pondok pesantren Al-Qur’an. Selain berguru, ilmu yang
didapatkan oleh KH As'ad Humam juga didapatkan melalui otodidak. Hal ini
dikarenakan KH As'ad Humam termasuk memiliki tingkat kegemaran membaca yang
tinggi. Ketika 1,5 tahun berbaring di rumah sakit, berbagai buku agama
(terutama karangan Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) senantiasa
dibacanya. Buku-buku karangan HAMKA yang umumnya berisi nasihat dan ajaran
tasawuf, sedikit banyak ikut andil dalam membentuk karakter semangat
perjuangan, pantang menyerah, dan juga keikhlasan. Kemana saja ia pergi dalam
tasnya tentu akan didapati kitab suci Al-Qur’an dan buku atau majalah. Majalah
Al Muslimun, sebuah majalah terbitan pesantren Bangil yang berisi kajian
masalah-masalah hukum, menjadi salah satu bacaannya sehari-hari. Sedangkan
buku-buku menyangkut akhlak, tasawuf, dan hukum Islam menjadi favoritnya. Buku-bukunya
inilah yang sangat mungkin sekali mempengaruhi pola pikir serta amal saleh
beliau, sehingga dalam kesehariannya secara fungsional K.H. As'ad Humam telah
mengaplikasikan secara konkret apa-apa yang telah dipelajarinya. Hal ini nyaris
sepadan dengan apa yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah,
dimana apa yang telah dipelajari sedikit pun lebih baik untuk segera diamalkan.
Sama juga dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Aisyah RA “Rasulullah SAW
bersabda: Perbuatan baik yang paling disukai Allah perbuatan yang terus menerus
dikerjakan. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim (dalam Terjemahan Riyadhus
Shalihin Imam Nawawi, terjemahan Sunarto, 1999: 176).
K.H. As'ad Humam wafat di Yogyakarta
pada 2 Februari 1996 (bulan Ramadhan hari Jum’at) dalam usia 63 tahunsekitar
Pukul 11:30. Jenazah K.H. As’ad Humam dishalatkan di mesjid Baiturahman
Selokraman Kota Gede Yogya tempat ia mengabdi.
D. Prinsip-Prinsip
Iqra’
Buku
Iqra’ ini disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
ﺍﻟﺼَّﻮْﺗِﻴَّﺔُ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔُ
Bahwasannya
ada beberapa thoriqoh dalam memulai mengajarkan membaca huruf-huruf Al-Qur’an,
antara lain adalah metode abjad atau metode alif – ba – ta atau yang dikenal
dengan istilah “at-thoriqoh al-harfiyah” dan metode menyuarakan atau yang
dikenal dengan istilah “a t-thoriqoh as-shoutiyah”. Pembedaan keduanya adalah:
1)
At-thoriqoh
al-harfiyah, dimulai dengan mengaenalkan nama-nama huruf, tanda-tanda baca
kemudian diurai – ( dieja seperti alif–fathah–a, alif-kasroh-i, alif-dhommah-u,
a-i-u, dan seterusnya).
2)
At-thoriqoh
as-shoutiyah, tidak dimulai dengan mengenalkan nama-nama hurufnya, tetapi
langsung dibaca atau langsung diajarkan namanya ini huruf “alif” melainkan
diajarkan bunyi suaranya “a” bagi yang bertanda fathah, “i” bagi yang bertanda
kasroh, “u” bagi yang bertanda dhommah. Demikian juga tanda baca(harokat) yang
menyertainya, juga tidak diperkenalkan namanya.
Dalam
hal ini buku Iqra’ mengikuti prinsip yang kedua yaitu langsung bunyinya. Yang
penting anak bisa baca walaupun tidak mengenal nama hurufnya. Hal ini dapat
kita lihat pada buku Iqra’ jilid 1 halaman 5, yang terdapat petunjuk: “bacaan
langsung a– ba– dan seterusnya. Tidak perlu diurai atau dieja. Bacalah dengan
suara pendek-pendek.”
Ditinjau
dari segi psikologi belajar, nampaknya at-thoriqoh as-shoutiyah lebih mudah
dilakukan anak-anak. Ini karena proses berpikirnya yang lebih sederhana, lebih
singkat dan mengurangi verbalis. Berbeda dengan at-thoriqoh al-harfiyah yang
mengharuskan anak harus hafal nama-nama huruf lebih dahulu mengejanya lengkap
dengan tanda-tanda bacanya, cenderung verbalis dan akibatnya membutuhkan waktu
yang lebih lama.
b.
ﺑِﺎﻟﺘَّﺪّﺭُّﺝِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔُ
Iqra’
menggunakan metode berangsur-angsur atau dikenal dengan istilah “at-thoriqoh
bittadarruj”. Hal ini tercermin dalam tahapan-tahapan pokok dari jilid 1– 6,
antara lain:
1)
Disusun dari
yang kongkrit menuju yang abstrak. Misalnya, kepada anak tidak diajarkan nama
huruf “alif” bertanda “fathah” berbunyi “a”, tapi cukup dikenalkan bila ada
“tongkat” di atasnya ada “coretan” berbunyi “a”. Alif buat anak adalah abstrak
sedang tongkat buat anak adalah kongkrit karena terdapat di lingkungan
sekitarnya.
2)
Dimulai dari
yang mudah menuju yang sulit. Mislanya, bacaan-bacaan tanwin dan nun sukun,
yang paling mudah adalah bacaan idzhar, kemudian yang dibaca idghom, iqlab dan
terakhir yang paling sulit adalah yang dibaca ikhfa’. Untuk itu dalam buku Iqra’,
bacaan idzharlah yang didahulukan (Iqra’ jilid 4) dan bacaan ikhfa’ yang paling
dikemudiankan (Iqra’ jilid 6). Hal ini sangat memudahkan bagi anak.
3)
Dimulai dari
yang sederhana menuju yang komplek.Misalnya, pada jilid 1 masih berupa
huruf-huruf tunggal berharokat fathah, jilid 2 huruf-huruf sambung yang agak
pendek-pendek, kemudian di jilid 3 dan 4 sudah mulai agak panjang-panjang, dan
akhirnya pada jilid 5 dan 6 memuat bahasan-bahasan yang semakin komplek dan
panjang-panjang.
Karena
prinsipnya yang berangsur-angsur seperti tersebut di ataslah maka seorang anak
seusia TK sekalipun akan bisa mempelajari buku Iqra’ ini dengan pelan-pelan, bertahap
dan tanpa ada perasaan “tertekan”.
c.
ﺍْﻷَﻃْﻔَﺎﻝِ ﺑِﺮِﻳَﺎﺿَﺔِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔُ
Prinsip
CBSA (Cara Belajar Santri Aktif) atau prinsip “Bi-riyadlotil athfal” adalah
suatu prinsip pengajaran yang ditandai oleh diutamakannya “belajar” daripada “mengajar”,
atau dengan perkataan lain CBSA adalah suatu sitem belajar-mengajar yang
menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna
memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, afektif
dan psikomotorik.
Prinsip
CBSA ini sangat sesuai dengan prinsip-pronsip pengajaran modern, dan didukung
pula oleh Imam Ghozali dalam makalahnya.
“Metode
dengan mengaktifkan anak mengadakan latihan-latihan sendiri adalah termasuk
perkara yang sangat penting”.
Dalam
buku Iqra’ prinsip ini benar-benar sangat dipentingkan. Dalam mengajarkan buku
Iqra’ seorang ustadz hanya diperbolehkan menerangkan dan memberi contoh
bacaan-bacaan yang tercantum dalam “Pokok Bahasan”, sedangkan bacaan pada “lembar
kerja” yang digunakan sebagai latihan anak, ustadz tidak boleh ikut membaca
atau menuntunnya. Anaklah yang dituntut untuk aktif membacanya, dan ustadz
hanya bertugas menyimaknya sambil memberikan motivasi, koreksi dan komentar-komentar
seperlunya saja.
Dengan
prinsip CBSA ini, dimaksudkan agar anak betul-betul mengerti dan bisa
mengucapkan secara benar huruf-huruf yang dipelajarinya itu, serta terhindar
dari verbalis (hafal tapi tidak mengerti).
d.
ﺍْﻷَﻻَﺕِﻻَﻓِﻰﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺻِﺪَﻓِﻰﺍﻟﺘَّﻮَﺳَّﻊُ
Yang
dimaksud dengan prinsip ini adalah bahwa pengajaran itu berorientasi kepada
tujuan, bukan kepada alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu. Dengan
demikian, yang dipentingkan adalah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan,
bukan alat untuk mencapai tujuan itu.
Dalam
kaitannya dengan pengajaran membaca Al-Qur’an, maka tujuan yang hendak dicapai
“anak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah
tajwid yang ada”. Mengenai kemampuan mengenal nama-nama huruf-huruf, kemampuan
mengeja, mengetahui ilmu tajwidnya dan sebagainya adalah termasuk “alat” untuk
tercapainya tujuan tersebut. Untuk itu, penguasaan anak terhadap “alat” cukup
hanya sekedarnya saja, atau bahkan bisa mencari alat lain yang dipandang lebih efektif.
Buku
Iqra’ nampaknya sangat konsisten dalam menerapkan prinsip ini. Dalam buku Iqra’
yang dipentingkan adalah kemampuan anak dalam membaca Al-Qur’an. Untuk itu:
1)
Buku Iqra’
tidak mengenalkan nama-nama huruf dan tanda bacanya sebelum anak bisa membacanya.
Atau dengan perkataan lain yang penting anak bisa baca lebih dulu, baru tahu
namanya.
2)
Buku Iqra’
tidak mengenalkan teori-teori atau ilmu tajwid sebelum anak bisa membacanya
sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid, jadi yang dipentingkan adalah prakteknyabukan
teorinya.
3)
Buku Iqra’
tidak menuntut anak bisa menuliskan huruf-huruf Al-Qur’an, sebelum ia bisa
membacanya. Atau dengan perkataan lain yang penting anak bisa baca lebih dulu,
baru menuliskannya.
Demikianlah
yang dipentingkan oleh buku Iqra’ adalah anak bisa membaca Al-Qur’an. Segala
sesuatu yang bisa menghambat kecepatan anak dalam bisa membaca Al-Qur’an,
semaksimal mungkin ditiadakan. Inilah barangakali yang menyebabkan dengan Iqra’
anak cepat bisa membaca Al-Qur’an.
E. Teknis
Mengajarkan Iqra’
Setiap
metode pembelajaran yang digunakan tentu memiliki metode tersendiri, namun
secara umum metode pelaksanaan pembelajran untuk membuka pembelajran itu sama,
seperti pemasangan niat, berdoa, berwudhu dan lain-lain, namun dalam kegiatan
intinya yang memilki teknik-teknik atau langkah-langkah masing-masing yang
berbeda setiap metode pembelajaran.
Adapun
proses pelaksanaan pembelajaran metode ini berlangusng melalui tahap-tahap
sebagai berikut:
1)
Ath Thoriqah bil Muhaakah,
yaitu ustadz/ustadzah memberikan contoh bacaan yang benar dan santri
menirukannya.
2)
Ath Thoriqah bil Musyaafahah
, yaitu santri melihat gerak-gerik bibir ustadz/uztadzah dan demikian pula
sebaliknya ustadz/ustadzah melihat gerak gerik mulut santri untuk mengajarkan
makhorijul huruf serta menhindari kesalahan dalam pelafalan huruf, atau untuk
melihat apakah santri sudah tepat dalam melafalkannya atau belum.
3)
Ath Thoriqoh Bil Kalaamish
Shoriih, yaitu ustadz/ustadzah harusmenggunakan ucapan yang jelas dan
komunikatif.
F.
Kelebihan dan Kekurangan Iqra’
Kelebihan
metode Iqra’ diantaranya:
1)
Adanya buku (modul) yang
mudah dibawa dan dilengkapi oleh beberapa petunjuk teknis pembelajaran bagi
guru serta pendidikan dan latihan guru agar buku Iqra’ ini dapat dipahami
dengan baik oleh guru, para guru dapat menerapkan metodenya dengan baik dan
benar.
2)
Cara Belajar siswa aktif
(CBSA). Menuntut siswa yang aktif bukan guru. Siswa diberikan contoh huruf yang
telah diberi harakat sebagai pengenalan di lembar awal dan setiap memulai
belajar siswa dituntut untuk mengenal hurufhijaiyah tersebut. Pada permulaan,
siswa langsung membaca huruf-huruf tersebut secara terpisah-pisah untuk
kemudian dilanjutkan ke kata dan kalimat secara gradual. Jika terjadi kesalahan
baca, guru memberikan kode agar kesalahan tersebut dibenarkan sendiri dengan
cara mengulang bacaan.
3)
Bersifat privat (individual).
Setiap siswa menghadap guru untukmendapatkan bimbingan langsung secara
individual. Jika pembelajaran terpaksa dilakukan secara kolektif maka guru akan
menggunakan buku Iqra’ klasikal. Dapat diterapkan secara klasikal (membaca
secara bersama) privat, maupun kelompok dengan cara tutor sebaya (siswa yang
lebih tinggi jilidnya dapat menyimak bacaan temannya yang jilidnya masih
rendah).
4)
Menggunakan sistem
asistensi, yaitu santri yang lebih tinggi tingkat pembelajaranya membina siswa
yang berada di bawahnya. Meski demikian proses kelulusan tetap ditentukan oleh
guru dengan melalui ujian.
5)
Guru mengajar dengan
pendekatan yang komunikatif, seperti dengan menggunakan bahasa peneguhan saat
siswa membaca benar, sehingga siswa termotivasi, dan dengan teguran yang
menyenangkan jika terjadi kesalahan.
6)
Penggunaan sistem
pembelajaran yang variatif dengan cerita dan nyanyian religius sehingga siswa
tidak merasa jenuh.
7)
Menggunakan bahasa secara
langsung sehingga lebih mudah diingat. Selain itu siswa tidak diperkenalkan
huruf hijaiyah terlebih dahulu dengan asumsi menyita banyak waktu, dan
menyulitkan siswa. Oleh karena itu metode Iqra’ bersifat praktis sehingga mudah
dilakukan.
8)
Sistematis dan mudah
diikuti, pembelajaran dilakukan dari yang mudah ke yang sulit, dari yang sering
didengar, yang mudah diingat ke yang sulit didengar dan diingat.
9)
Buku dengan metode ini
bersifat fleksibel untuk segala umur dan bukunya mudah di dapat di toko-toko.
Kekurangan metode Iqra’
diantaranya:
1)
Bacaan-bacaan tajwid tidak
dikenalkan sejak dini.
2)
Tidak dianjurkan menggunakan
irama murottal.
3)
Anak kurang tahu nama huruf
hijaiyah karena tidak diperkenalkan dari awal pembelajaran.
4)
Tidak ada media belajar
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di muka, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Metode Iqra’ adalah suatu
metode membaca Al-Qur’an yang menekankan langsung pada latihan membaca.
2.
Pengembangan penggunaan cara
cepat belajar membaca Al-Qur'an dengan metode Iqra’ yang disusun oleh KH As'ad
Humam ini pada awalnya hanya perantaraan dari mulut ke mulut atau getok tular,
kemudian dengan ketekunan mampu dikembangkan secara luas dan diterima baik oleh
masyarakat di Indonesia bahkan di dunia internasional, dengan dibantu aktivis
yang tergabung dalam Team Tadrus AMM Yogyakarta.
3.
Penulis metode Iqra’ adalah
K.H. As’ad Humam, lahir pada tahun 1933.Nama asli dari K.H. As'ad Humam
hanyalah As'ad saja, sedangkan nama Humam yang diletakkan dibelakang adalah
nama ayahnya, H. Humam Siradj.
4.
Prinsip yang
paling dalam buku Iqra’ adalah anak bisa membaca Al-Qur’an.
5.
Setiap metode pembelajaran
yang digunakan tentu memiliki metode tersendiri, namun secara umum metode
pelaksanaan pembelajran untuk membuka pembelajran itu sama, seperti pemasangan niat,
berdoa, berwudhu dan lain-lain, namun dalam kegiatan intinya yang memilki
teknik-teknik atau langkah-langkah masing-masing yang berbeda setiap metode
pembelajaran.
6.
Kelebihan metode Iqra’
diantaranya: Adanya buku (modul), CBSA, bersifat privat (individual),
menggunakan sistem asistensi, komunikatif, variatif, sistematis, dan fleksibel.
Sedangkan kekurangan dari metode Iqra’ diantaranya: bacaan-bacaan tajwid tidak
dikenalkan sejak dini, tidak dianjurkan menggunakan irama murottal, anak kurang
tahu nama huruf hijaiyah karena tidak diperkenalkan dari awal pembelajaran, dan
tidak ada media belajar.
DAFTAR PUSTAKA
http://matericaberawit.blogspot.com/2010/08/prinsip-prinsip-metodologi-iqro_05.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar